Kumulus hitam masih menggantung rendah di kaki langit utara. Aku menarik retsleting jaket coklatku hingga ujung leherku. Bukannya aku sok mandiri atau apa dengan menolak jemputan Mang Asep sopir rumah tadi, tapi memang aku ingin menyongsong hujan yang aku yakin sebentar lagi akan segera turun. Aku suka hujan, sangat suka. Titik-titik airnya yang selalu kuimajinasikan sebagai air mata bidadari di langit sana, petir dan halilintarnya yang kuanggap sebagai kilatan cahaya surga sampai dengan genangan air di jalan yang bila kulewati pasti akan menjadi kecipak ringan air.
Aku suka hujan. Hujan bisa menyembunyikan tangisku saat aku sedang sangat sedih, dan mungkin karena itu, aku menganggap hujan sebagai tempat curhat terpercayaku. Hujan tidak pernah mengeluh saat aku bercerita panjang lebar tentang bagaimana aku begitu cemburu melihat cowo yang kutaksir dekat dengan cewe lain sampai dengan bagaimana jengkelnya aku terus dikerjai kakakku, Titan. Bukan salahku kalo aku begitu mempercayai hujan dan jarang bercerita kepada orang lain yang mungkin bisa disebut sebagai temanku. Aku terlalu malu untuk sekedar mempunyai sahabat akrab. Aku cenderung menutup diri pada lingkungan sekitarku dibanding harus bercerita panjang lebar tentang segala masalahku pada orang asing yang baru kukenal saat naik ke kelas 8 SMP kurang lebih 3 bulan lalu.
Tapi dibalik itu semua, kurasa alasanku menyukai hujan hanya diwakili oleh satu kata. Amerrialluvia, yang berasal dari 2 bahasa, Ame untuk bahasa Jepang dan Lluvia dalam bahasa Spanyol. Dan kau tahu arti keduanya? Hujan. Ya, namaku Ammerialluvia Suryaatmadja atau panggillah aku Luvi. Sekarang kau tahu mengapa aku begitu menyukai hujan? [:)]
geophysicist UGM 2010. tomboy, berisik, tapi ga rese. tellin' me to be cool? ow ow.. i'm always cool.